Oleh Dr Kurnia Zakaria S.H, M.H
Media www.rajawalisiber.com – Pasal 3 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan diaopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993 diratifikasi Republik Indonesia dalam UU No.7 Tahun 1984 dalam Hak dan Jaminan Kebebasan Perempuan antara lain:
- Hak atas kehidupan.
- Hak atas persamaan,
- Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi,
- Hak atas Perlindungan yang sama berdasarkan hukum
- Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi,
- Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya
- Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik,
- Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau punkekejaman yang lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang.
Dalam Kekerasan seksual diancam pasal pemidanaan dalam KUHP pasal 285 sampai pasal 289 KUHP dan UU No. 12 Tahun 2022 dimana jenis Pemerkosaan menurut Kurnia Zakaria mengutip Steven Box dibagikan beberapa jenis :
- Sadistic Rape yaitu pemerkosaan yang dilakukan secara sadistik si Pelaku mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh, tetapi karena perbuatan kekerasan terhadap “genitalia” dan tubuh si korban.
- Anger Rape merupakan ungkapan pemerkosaan yang karena kemarahan dilakukan dengan sifat brutal secara fisik. Seks menjadi senjata nya dan dalam hal ini tidak diperolehnya kenikmatan seksual. Yang dituju acapkali keinginan untuk mempermalukan korban.
- Domination rape yaitu pemerkosaan yang dilakukan oleh mereka yang ingin menunjukkan kekuasaan,
- Seduction turned into rape yaitu pemerkosaan yang ditandai dengan adanya relasi antara pelaku dengan korban.
- Exploitation Rape merupakan jenis pemerkosaan di mana si wanita sangat bergantung dari si pelaku baik dari sosial maupun ekonomi.
Menurut Kurnia Zakaria Modus operandi pelaku pemerkosaan biasanya mengajak korban ke tempat yang aman, lalu korban dirayu atau diperdaya atau dengan daya upaya korban tidak dibuat berdaya melayani napsu syahwat pelaku. Dan golongan jenis permerkosaan ini bersifat Seduction turned into rape dicampur dengan Anger Rape. Zvonimir Paul Separovic dalam bukunya Victimology Studies of Victims, Zagreb 1985 bahwa banyak kasus pemerkosaan terjadi antara pelaku dan korban saling kenal. Dalam kasus kejadian di Palembang 31 Agustus 2024 lalu Korban AA yang sudah mengenal pelaku IS sudah kenal sebelumnya hampir 2 minggu berkenalan via media sosial terlebih dahulu. Arti nya ada peranan korban yang mau saja diajak nonton Kuda Kepang (Lumping) di kawasan Pipa Reja kecamatan Kemuning Kota Palembang bersama teman-teman IS yaitu MZ, AS dan NS. Dalam motif kasus Pembunuhan dan Perkosaan dilakukan secara sadis akibat tontonan porno di media sosial terutama aplikasi X dan Telegram dimana ke empatnya kecanduan dan ketagihan menonton dan keinginan melakukan hubungan seksual mungkin awalnya dengan perempuan seks komersial atau pelacur terlebih dahulu. Keberanian dan kebohongan keempat anak membuat alibi dan ketidakbersalahan malah IS sempat bercerita kepada sesama temannya ini perlu ada pendampingan Ahli Psikologi kesehatan Jiwa Anak atas Hasrat Seks Anak yang tidak bis terkendali lagi akibat kecanduan film porno di media sosial. Karena IS dan ke tiga orang ini terencana dan bukan lagi dikatakan kenakalan remaja tetapi sudah bisa digolongkan Sadis dan Biadab memperkosa Korban Perempuan yang sudah meninggal. Jadi kejahatannya tidak bisa hanya dihukum maksimal 10 Tahun penjara (Pemidanaan Terberat Peradilan Pidana Anak) yang pernah dialami oleh mantan Terpidana ST (kasus Vina Eky Cirebon tahun 2016 lalu). Walaupun proses Pemeriksaan Peradilan Pidananya tetap sesuai UU No.11 Tahun 2012. Dalam kasus kekerasan seksual diakibatkan oleh :
- Faktor Personal termasuk didalamnya faktor biologis (usia, jenis kelamin, keadaan mental)
- Faktor Psikologis termasuk agresivitas , kecerobohan, dan keterasingan).
- Faktor situasional seperti konflik keluarga/pendidikan dini seksual pada usia anak di sekolah maupun di keluarga, tempat dan waktu termasuk pengareuh media sosial yang bebas).
Studi tentang korban kejahatan seksual mencatat adanya peranan korban “victim precipitation” dimana perilaku korban disadari atau tidak merangsang timbulnya korban perkosaan dan pelecehan seksual dimana sejak remaja perempuan suka memakai make-up berlebihan seperti pakai lipstik, bulu mata, skin-care, rajin ke salon kecantikan dan memakai busana ketat dan minim sebagai gaya hidup. Juga sering keluar malam duduk di café atau resto hingga malam atau dini hari “nongkrong” seperti di resto MD dan MG buka 24jam. Atau naik motor kelililing kota hingga malam dan sering pergi ke Club Live Music (diskotek). Minum-minuman berallkohol seperti Bir dan wine.
Pada awalnya kenakalan remaja dikatakan sebagai perbuatan deviasi yang tidak perlu dikhawatirkan (deviasi primer) seperti :
- Perbuatan tersebut dilakukan secara periodik artinya tidak dilakukan secara terus menerus.
- Perbuatan deviasi dilakukan tidak secara organisasi dan tidak dilakukan secara lihai.
- Si pelaku tidak memansdang dirinya sebagai deviant (melanggar hukum).
- Pada dasarnya perbuatan tersebut tidak dapat dianggap sebagai perbuatan deviasi oleh pihak berwenang (Polisi/Babinsa/Satpol PP).
Apa yang dikatakan sebagai deviasi primer merupakan perbuatan awal dari keinginan untuk melakukan kejahatan. Perbuatan deviasi primer ini sering disebut kenakalan remaja apalagi dilakukan oleh anak dibawah umur dan proses persidangan perkara pidana anak memakai UU No.11 Tahun 2012 tentang Peradian Pidana Anak. Sebaliknya bila perbuatan tersebut dilakukan terus menerus secra rutin akan menjadi langkah awal “karir” penjahat. Di kalangan remajja melakukan perbuatan-perbuatan menjurus kriminalitas tidaklah mudah. Memerlukan dukungan dari teman-teman sekomunitas dan lingkungan yangmemdukung sitasi dan kondisinya, apalagi banyaknya anak merasa gagal berptrestasi dalam pendidikan, juga latar belakang dari keluarga menengah ke bawah serta tempat tinggal di pemukiman padat dan kumuh. Munculah kehidupan GANK atau Kelompok Kriminalitas Remaja karena proses pembelajaran seperti Teori Edwin H. Sutherland “asosiasi diferensial” dimana kejahatan dilakukan secara terus menerus dilakukan dengan proses pembelajaran dan peniruan serta diberi makna bahwa bukan pelanggaran hukum serta menunjukkan eksistensi diri dan mencari identitas diri yang salah di waktu dan tempat yang salah (criminal behavior is learned).
Artinya ada Tugas para Pendidik harus memberikan Tambahan Pembelajaran Karakter Moralitas dan Etika Pergaulan serta dan peranan Orang Tua dan Masyarakat harus Peduli terhadap Kelakuan dan Tindakan Budi pekerti terhadap anak sejak dini. Harus ada revisi Kurikulum Pendidikan dan pengajaran karena kejadian ini puncak es dari masalah Pendidikan yang salah dalam Kurikulum “Merdeka Belajar” karena lebih mengutamakan Prestasi Nilai bukan Pendidikan Karakter dan Moralitas. Bangsa yang Maju Bangsa yang selalu mengutamakan Pendidikan daripada Pembangunan Infrastruktur tanpa mendengar Kepentingan Publik yang lebih suka Harga Pangan Murah dan Pendidikan Murah, bukan mengutamakan pembangunan Ibukota Negara Baru “IKN”.
Tentang Penulis