Media www.rajawalisiber.com Pandemi Covid 19 yang tengah terjadi saat ini memperburuk kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang sejak dulu telah mengalami kelebihan kapasitas. Banyaknya jumlah narapidana penghuni Lapas yang terjangkit virus korona menjadi perhatian berbagai pihak untuk mengevaluasi regulasi penanganan narapidana yang sebagian besar merupakan pelaku tindak pidana narkotika.
Dilansir dari laman tirbunenews.com, Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas), Reynhard Silitonga, menyampaikan sebelumnya jumlah narapidana yang terkonfirmasi positif covid-19 mencapai 9.000 orang. Hal ini terjadi akibat kondisi antar tahanan yang harus hidup berhimpitan karena ruang tahanan yang tak mampu menampung jumlah Narapidana.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej menilai keliru apabila persoalan kelebihan kapasitas Lapas merupakan tanggungjawab Kemenkumham.
“Mengapa? Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, lembaga pemasyarakat itu tempat pembuangan terakhir,” ujar Eddy sapaan akrabnya, dalam webinar Covid-19, Prison Overcrowding And Their Impact on Indonesia’s Prison System yang diadakan Ditjen PAS, Kamis (5/8/2021).
Lapas, dikatakan Eddy, tidak bisa melakukan intervensi dalam sistem peradilan pidana. Eddy mengatakan bahwa lapas hanya menerima apa saja yang menjadi putusan dalam pengadilan. Pihaknya menilai, hal ini perlu dibicarakan dengan institusi kepolisian, kejaksaan terlebih peradilan yang menentukan putusan hukuman bagi seorang pelaku tindak kejahatan.
Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai _leading sector_ penanganan permasalahan Narkotika yang menyumbang angka tertinggi jumlah narapidana kasus narkoba, menanggapi hal tersebut. Deputi Hukum dan Kerjasama BNN, Drs. Puji Sarwono, menyebutkan berdasarkan data tahun 2019, sebanyak 78% dari 17.009 warga binaan di 9 Lapas di Jakarta merupakan pelaku tindak pidana narkotika.
“Kondisi ini menyebabkan tujuan sistem pemasyarakatan yang awalnya hendak mengembalikan mereka menjadi warga negara yang baik menjadi sulit untuk dilakukan secara optimal”, jelas Puji Sarwono saat mengikuti webinar yang sama yang diselenggarkan oleh Ditjen PAS.
Menurutnya, kondisi kelebihan kapasitas ini sangat berbahaya dalam konteks penyebaran covid 19 dengan kondisi Lapas yang padat dan ventilasi udara yang kurang memadai.
Berdasarkan fakta yang ada dilapangan, BNN mengusulkan beberapa rekomendasi, salah satunya dengan tidak menjadikan sanksi pidana penjara sebagai muara, melainkan dengan memaksimalkan upaya rehabilitasi.
“Hal ini sejalan dengan Laporan UNODC dalam World Drug Report 2011 yang menekankan bahwa penegakan hukum untuk mengurangi peredaran _(Supply Reduction)_ harus disertai dengan kebijakan untuk mengurangi permintaan _(Demand reduction)”_, papar Puji Sarwono.
Drs. Puji Sarwono menambahkan penanganan pada aspek permintaan berfokus pada pencegahan penyalahgunaan narkotika, _crime reduction_, dan pelayanan rehabilitasi.
“Sehingga permasalahan penyalahgunaan narkotika tak lagi bermuara pada sanksi pidana penjara, melainkan bermuara di tempat rehabilitasi”, imbuhnya.
Hal lain yang menjadi rekomendasian dari BNN adalah pemaksimalan proses Tim Asesmen Terpadu (TAT) dalam menentukan kriteria tingkat keparahan pengguna narkotika serta rekomendasi terapi dan rehabilitasi yang tepat dalam menangani pecandu narkotika.
“Ini sesuai dengan amanah dari Pasal 54 Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”, tutup Puji diakhir paparannya. (VDY)
*BIRO HUMAS DAN PROTOKOL BNN*