Ketua DPRD Magetan Sejak Awal Ingatkan Terkait Kasus Sengketa PT Bintang Inti Karya Dengan Para Pekerjanya

Media www.rajawalisiber.com – PT Bintang Inti Karya Magetan Sejak dinyatakan Pailit, semakin menambah beban berat pekerja perusahaan tersebut dan sekarang tinggal menunggu nasib di tangan kurator.

Dan Ketua DPRD Magetan Suyatno Menyampaikan pada Redaksi,” sejak awal sudah saya sampaikan pada Disnakertrans Magetan ini sudah jelas sengketa antara pekerja dengan PT Bintang Inti Karya,” ucapnya.

Penjelasan Umum UU Kepailitan yang menyatakan, “Putusan pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan.” Setelah perusahaan dinyatakan pailit, maka selanjutnya yang akan mengurus harta pailit adalah kurator. Demikian ditentukan oleh Pasal 15 ayat  (1) juncto Pasal 69 ayat (1) UU Kepailitan. 

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Kepailitan, Setelah keluarnya putusan Perusahaan Pailit yang telah Berkekuatan Hukum Tetap, yang memerintahkan perusahaan (dhi. Kurator), Kurator melakukan pembayaran Kompensasi PHK, apakah pekerja sudah dalam kedaan aman dan akan segera menerima haknya ? Ternyata, jawabannya adalah tidak, Kurator tidak akan langsung memberikan Kompensasi PHK kepada pekerja. Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 mengatur bahwa, dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari  pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Gayung bersambut, Pasal 39 ayat (2) UU 37/2004 kemudian menggariskan bahwa sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.[1]

Dengan demikian, baik upah maupun Kompensasi PHK merupakan utang dari harta pailit. Oleh karena itu, sebagaimana halnya Kreditur lain, pekerja sebagai bagian dari Kreditur terpaksa yang menunggu pembayaran piutangnya (termasuk Kompensasi PHK) dari Kurator.

Pembayaran tersebut baru dapat dilakukan apabila pemberesan harta pailit telah terselesaikan oleh Kurator. Bertitik tolak dari penjelasan di atas, terdapat kemungkinan pekerja hanya akan menerima sebagian atau bahkan sama sekali tidak akan menerima Kompensasi PHK. Kejam memang, tetapi itulah konsekuensi hukum yang mungkin terjadi akibat pailitnya suatu perusahaan.

Secara garis besar, pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat diklasifikasikan sebagaimana dijelaskan berikut:

Pencocokan Utang /Verifikasi [2]

Tagihan (piutang) Kreditur atau utang-utang perusahaan pailit didata oleh Kurator untuk dicocokkan mengenai benar tidaknya pengakuan Kreditur, besarnya piutang Kreditur maupun kedudukannya sebagai Kreditur. Hal ini bertujuan untuk melindungi perusahaan pailit (selaku Debitur) terhadap tagihan-tagihan yang tidak ada dasarnya. Bagi pihak Kreditur, pencocokan utang berfungsi sebagai perlindungan terhadap kemungkinan utang-utang fiktif yang dibuat-buat oleh perusahaan pailit.

Pemberesan Harta Pailit [3]

Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, atau rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar atau dikenal sebagai insoven. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, seorang Debitur berada dalam keadaan insolven adalah apabila Debitur itu tidak mampu secara finansial membayar sebagian besar utang-utangnya atau nilai asetnya (aktiva) kurang atau lebih kecil dari nilai tanggungjawabnya (pasiva). [4]

Sejak insolvensi terjadi, maka dimulailah proses pencairan aset atau penagihan piutang perusahaan pailit. Tindakan kurator dalam mencairkan aset perusahaan pailit disebut juga sebagai likuidasi. Semua harta pailit berupa aset (benda bergerak/tidak bergerak) harus dijual dilelang (public sale). Namun, dalam hal penjualan di muka umum tidak tercapai, maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin Hakim Pengawas. [5]

Pembayaran

Setelah proses likuidasi diselesaikan, maka Kurator akan menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan kepada Hakim Pengawas.[18] Selanjutnya, dilakukan pembayaran kepada para Kreditur yang telah dicocokkan tagihannya (piutang) sesuai dengan urutan atau kedudukannya.

Pembayaran tersebut termasuk pembayaran terhadap piutang pekerja berupa upah atau hak-hak lainnya (termasuk Kompensasi PHK). Segera setelah terjadi pembayaran utang atau setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat, maka berakhirlah kepailitan.[6]

Urutan Kreditur

Sebelum kepailitan berakhir atau pada saat pembayaran, dimanakah posisi atau kedudukan piutang para pekerja ? Apakah piutang pekerja diposisikan sebagai piutang yang paling tinggi kedudukannya ? Untuk itu, terlebih dahulu perlu dipahami hal-hal terkait bentuk-bentuk dan urutan Kreditur. Secara umum, dengan memperhatikan ketentuan dalam KUHPerdata dan  UU 37/2004, terdapat tiga jenis kreditur yaitu sebagaimana dijelaskan berikut:

Kreditur Pemegang Hak Istimewa

Merupakan kreditur yang oleh undang-undang diberi kedudukan didahulukan dari para kreditur konkuren. Contohnya seperti kurator, negara (pajak), biaya pengadilan atau bea lelang. Berdasar Pasal 1134 KUHPerdata, kreditur pemegang hak itimewa akan lebih didahulukan pembayarannya dari kreditur pemegang jaminan (separatis), sepanjang dituliskan secara tegas dalam undang-undang.

Kreditur Separatis (secured creditor)

Merupakan kreditur yang didahulukan dari kreditur-kreditur lainnya untuk memperoleh pelunasan tagihannya karena memegang jaminan berupa: Gadai.[7]; Jaminan Fidusia.[8]; Hak Tanggungan.[9]; Hipotik Kapal.[10]; Resi Gudang.[11] Bahkan, Pasal 55 UU 37/2004 menyebutkan bahwa Kreditur dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dengan demikian, kreditur separatis bisa saja lebih dahulu memperoleh pembayaran dengan cara mengeksekusi hak-hak yang dimilikinya berdasarkan undang-undang.

Contoh paling umum dari kreditur separatis (secured creditur) adalah lembaga perbankan atau lembaga pembiayaan. Mengingat, bank berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun dana secara langsung dari masyarakat, maka bank harus menjamin pengembalian dana tersebut kepada masyarakat. Jika bank tidak dapat mengembalikan dana yang telah dihimpun, maka hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan terhadap sendi-sendi perekonomian negara. Salah satu upaya untuk menjamin pengembalian tersebut adalah meminta Debitur (perusahaan) untuk memberikan jaminan kebendaan tertentu kepada bank. Hal tersebutlah yang mendorong kreditur separatis sangat dilindungi hak-haknya oleh peraturan perudang undangan.

Kreditur Konkuren (unsecured creditor)

Merupakan Kreditur yang tidak mempunyai hak pengambilan pelunasan terlebih dahulu daripada kreditur lain. Disamping itu, juga harus berbagi dengan para Kreditur lain “sesamanya” secara proporsional (pari pasu) atas sisa hasil penjulan aset perusahaan pailit (likuidasi).

Perlindungan dan Piutang Pekerja

Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003, mengariskan utang upah dan hak-hak lainnya dari  pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Kata “didahulukan” memperlihatkan pekerja merupakan bagian dari Kreditur pemegang hak istimewa. Namun, seberapa istimewakah ? Apakah lebih istimewa dari piutang pajak yang  juga merupakan piutang istimewa ? Disamping itu, UU 13/2003 tidak menyebutkan secara spesifik kedudukan piutang pekerja lebih tinggi dari pada kedudukan pemegang hak jaminan. Oleh karena itu, apakah kedudukan piutang pekerja lebih tinggi dari kedudukan kreditur pemegang hak jaminan (kreditur preferen) ?

Ketidakjelasan Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 memicu perdebatan dan permasalahan yang sulit terselesaikan. Meskipun dilakukan penyitaan atas aset perusahaan pailit, akan tetapi tidak boleh dilupakan bahwa pekerja mempunyai kedudukan lebih ketika mereka melakukan pendudukan terhadap aset perusahaan pailit. Oleh karena itu, hanya pengaturan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Kebuntuan tersebut menemukan titik terang dengan hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013.[12] Putusan Mahkamah Kontitusi tersebut ditindaklanjuti dengan hadirnya Pasal 37 PP No. 78/2015.[13] Pada intinya, Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 harus dimaknai sebagai berikut:

Upah pekerja yang terhutang didahulukan pembayarannya atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah; sedangkanHak-hak pekerja lainnya harus didahulukan pembayarannya atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (kreditur separatis).

Bertitik tolak dari hal-hal yang dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa  dengan dicairkannya seluruh kekayaan perusahaan yang dinyatakan pailit, dan setelah kurator melaukan likuidasi, maka:

Kurator wajib terlebih dahulu membayar utang berupa upah pekerja, baik sebelum atau sesudah putusan pailit. Untuk itu, utang upah tersebut lebih didahulukan pembayarannya dari pada kreditur-kreditur lainnya.Namun, hak-hak lainnya dalam hal ini termasuk Kompensasi PHK, didahulukan pembayarannya dari pada kreditur lainnya kecuali atas pembayaran terhadap para kreditur pemegang jaminan kebendaan atau kreditur perferen (secured creditor/kreditur separatis). Red

dasar hukum:

[1] Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas suatu pekerjaan atas jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga.

[2] UU No. 37 Tahun 2004, Pasal 113 s.d 143.

[3] UU No. 37 Tahun 2004, Pasal 178 s.d 203.

[4] Sutan Remy Sjahdeini, op.,cit. hlm. 61.

[5] UU No. 37 Tahun 2004, Pasal 185.

[6] Daftar pembagian memuat rincian penerimaan dan pengeluaran termasuk didalamnya upah Kurator, nama Kreditur, jumlah yang dicocokkan dari tiap-tiap piutang, dan bagian yang wajib diterimakan kepada Kreditur. UU No. 37 Tahun 2004, Pasal 189 ayat (2).

[7] UU No. 37 Tahun 2004, Pasal 202.

[8] Lihat Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Pasal 1150 s/d Pasal 1160.

[9] Lihat Undang-Undang  No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

[10] Lihat Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah

[11] Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232.

[12] Lihat Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang  No. 9 Tahun 2011.

[13] Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi, No. 67/PUU-XI/2013 tanggal 11 September 2014.

[14] Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pengupahan, PP  No. 78 Tahun 2015, LN No. 237 Tahun 2015, TLN No. 5747.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *