Penulis: Serat Paramayoga Karya Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Media www.rajawalisiber.com – Syits sendiri adalah putra Nabi Adam yang menggantikan Habil yang meninggal dunia. Keturunan Syits, termasuk Sayid Anwar, dianggap sebagai nenek moyang raja-raja Jawa, dan perjalannya dianggap penting dalam pembentukan karakter mereka.
Dalam tradisi Jawa, Sang Hyang Esis merujuk pada Nabi Syits (atau Seth dalam versi Alkitab), putra Nabi Adam yang terlahir tunggal (tidak kembar) sebagai pengganti Habil yang terbunuh.
Menurut versi Jangka Jayabaya, ia adalah salah satu tokoh kunci dalam garis keturunan yang dianggap sebagai leluhur raja-raja Jawa.
Garis Keturunan Menurut Jangka Jayabaya: Nabi Adam, Sebagai nenek moyang manusia. Nabi Syits (Sang Hyang Esis): Putra Nabi Adam yang dikisahkan dilahirkan untuk menggantikan Habil.
Sayid Anwar: Dalam Serat Paramayoga, Sayid Anwar disebutkan sebagai anak Nabi Syits. Dalam Serat Paramayoga dan tradisi Jawa lainnya menempatkan Sayid Anwar sebagai leluhur para raja, sehingga garis keturunannya dianggap penting.
Keturunan Raja-raja Jawa yang dianggap sebagai keturunan Sayid Anwar.
Nabi Syits: Merupakan tokoh penting dalam agama Islam dan juga memiliki peran dalam mitologi Jawa. Sayid Anwar Dianggap sebagai kakek moyang raja-raja Jawa, sehingga perjalanannya dan pembentukan karakternya sangat diperhatikan dalam cerita dan babad.
Jangka Jayabaya: Merupakan ramalan yang dianggap memiliki arti penting dalam sejarah dan budaya Jawa, dengan berbagai versi tentang garis keturunan dan sejarah.
Versi Jangka Jayabaya tentang garis keturunan ini dapat berbeda-beda antar sumber. Tokoh-tokoh ini memiliki makna yang mendalam dalam tradisi Jawa, baik dari segi agama maupun sejarah.
Penting untuk diingat bahwa Jangka Jayabaya adalah ramalan yang bersifat simbolis dan interpretatif, bukan hanya sekadar sejarah.
Penulis bertujuan membahas dan menguraikan proses pembentukan subjek dari tokoh Sayid Anwar yang merupakan salah satu tokoh kunci di dalam Serat Paramayoga karya R. Ng. Ranggawarsita (1802-1874)
Serat Paramayoga sendiri merupakan sebuah karya sastra yang memadukan babad Jawa, cerita cerita wayang dan, kisah-kisah Abrahamik untuk menjelaskan asal mula kejadian orang Jawa dalam kacamata mitologis.
Proses yang dialami Sayid Anwar untuk membentuk subjeknya sendiri dan menemukan identitiasnya cukup panjang dan rumit, terdapat banyak hasrat yang muncul di dalam prosesnya.
Sayid Anwar merupakan subjek yang selalu berkekurangan, karena itu dalam prosesnya banyak muncul hasrat yang juga termasuk dalam rangkaian penanda metafora dan metonimi, hasrat tersebut juga memicu Sayid Anwar untuk dapat masuk ke satu tatanan ke tatanan yang lain.
Kematian kakeknya, yaitu Nabi Adam menyebabkan ia memiliki hasrat untuk hidup kekal sehingga bisa masuk ke tatanan imajiner. Sayid Anwar yang awalnya hanya bertujuan untuk mencari kekekalan menyebabkan ia memiliki hasrat hasrat yang lain hingga hasrat puncaknya muncul.
Hasrat tersebut juga yang memicu Sayid Anwar dapat memasuki fase simbolik dan membentuk subjeknya sendiri.
Jangka Jayabaya dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Karya tulisan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga.
Asal usul utama Jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Prapen dari masa Giri Kedaton.
Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuatnya.
Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Jangka Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Prapen (Sunan Giri ke-3) di Giri Kedaton
Yang dikumpulkannya pada tahun 1540 Saka = 1028 Hijriyah = 1618 Masehi, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singasari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M.
Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram yang bertakhta (1613-1645 M). Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743M.
Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak.
Memang dirinya merupakan keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila dia dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang prabu Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam,
Sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong. Disamping itu dia menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749).
Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll.
Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda.
Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.
Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II.
Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh putranya sendiri yakni Pangeran Soemekar,
Lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.
Jangka Jayabaya dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Karya tulisan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga.
Asal usul utama Jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Prapen dari masa Giri Kedaton.
Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuatnya.
Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Jangka Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Prapen (Sunan Giri ke-3) di Giri Kedaton
Yang dikumpulkannya pada tahun 1540 Saka = 1028 Hijriyah = 1618 Masehi, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singasari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M.
Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram yang bertakhta (1613-1645M). Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668<span;> Jawa = 1741-1743 M.
Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak.
Memang dirinya merupakan keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila dia dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang prabu Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam,
Sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong. Disamping itu dia menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749).
Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll.
Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (<span;>1704-1719<span;>) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun <span;>1691-1704<span;>. Kemudian diganti G.G van Hoorn (<span;>1705-1706<span;>), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda.
Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.
Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II.
Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh putranya sendiri yakni Pangeran Soemekar,
Lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M. Redaksi