GARA GARA ISUE PERUBAHAN IKLIM, PLN DIPLOROTIN

 

Oleh : Salamuddin Daeng

 

Media www.rajawalisiber.com – Memploroti Perusahaan Listruk Negara (PLN) mungkin itu bahasa yang baik dan tepat untuk menggambarkan bagaimana upaya sekelompok orang dalam kekuasan yang tengah bertindak seolah olah baik, namun maksudnya hendak memploroti BUMN PLN.

Pintu masuknya adalah isue perubahan iklim (climate change/COP21-COP 26). Memang isue ini menjadi masalah dunia saat ini. Bahkan Sri Mulyani mengatakan bahwa perubahan iklim akan membawa dampak ekonomi jauh lebih dahsyat dari covid 19.

Presiden bisa jadi gelisah karena janji kepada internasional untuk menurunkan emisi sampai saat ini belum terealisasi. Sementara perjanjian internasional di bidang perubahan iklim telah ditandatangani presiden. Bahkan perjanjian tersebut telah disyahkan menjadi UU. Sehingga tidak hanya mengikat (legally binding) ke luar, namun juga wajib karena amanat UU Indonesia sendiri.

Indonesia memang akan menjadi salah satu pimpinan dalam perundingan COP 26 di Glasgow 2021. Indonesia bahkan telah diberkkan gelar Climate Super Power oleh tuan rumah COP 26 Inggris. Sebagai pimpinan tentu presiden tidak mau dipermalukan. Presiden harus menunjukkan bukti pencapaian Indonesia sejak COP 21 Paris ditandatangani.

Kesempatan di tengah kesempitan ini langsung terbaca oleh para pemain peraturan di dalam kekuasaan. Mereka ditenggarai menjadi kaki tangan para pebisnis mengelus elus Presiden Jokowi agar melakukan langkah cepat untuk menurunkan emisi karbon, namun kebijakan dan programya bisa langsung dinikmati oleh pebisnis dalam lingkaran kekuasaan tersebut. Ada yang dapat uang, ada yang dapat pajak dan ada juga yang dapat pasar penjualan produk produk kelistrikan.

Namun kebijakan dan program tersebut diarahkan semua untuk memploroti uang dan aset PLN. Jadi menyelamatkan agenda perubahan iklim dengan seluruh biaya biaya agenda ini ditanggung PLN. Padahal agenda perubahan iklim tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab PLN saja. Dalam negara Indonesia yang paling besar tanggung jawabnya adalah perusahaan perusak hutan yang mengkontribusikan 60 % emisi indonesia. Selain itu juga perusahaan batubara, perusahaan minyak raksasa, perusahaan sawit, adalah kontributor emisi yang paling besar.

Setidaknya tiga kebijakan dari tiga kementerian diarahkan untuk memploroti PLN.

1. Pajak karbon yang ditetapkan melalui peraturan Menteri Keuangan. Terkait peraturan pajak karbon ini, PLN setidaknya harus menbayar Rp. 10 triliun setiap tahun untuk pajak karbon. Ini adalah kebijakan instan dan pragmatis dari menteri keuangan. Memalaki PLN, untuk menncapai tujuannya sendiri.

2. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap yang oleh Kementerian ESDM. Listrik yang dihasilkan PLTS atap 100 Persen harus dibeli oleh PLN. Sementara sekarang 50% listrik yang dihasilkan PLN saat ini tidak dapat diserap pasar (oversupply)

3. Pencopotan aset geotermal PLN oleh menteri BUMN untuk di subholdingkan selanjutnya di jual melalui IPO kepada swasta. Padahal pembangkit geotermal adalah pendukung utama bauran energi bagi PLN. Pembangkit geotermal prestasi PLN dalam memurunkan emisi. Lah kok malah dicomot dan dikasih ke pihak lain. Mungkin banyak yang tengah mengincar aset geotermal PLN, untuk cari muka kepada presiden agar punya prestasi di bauran energi.

Ketiga kebijakan ini tampaknya memeng dilandasi oleh kondisi kebelet yang dihadapi oligarki. Kementerian keuagan kebelet, karena penerimaan pajak melorot, uang habis untuk biayai covid. Kementerian ESDM kebelet karena gagal meningkatkan bauran energi sehingga buru buru menetapkan PLTS atap. Sementara dia tidak memgatasi masalah over supply dan harga listrik PLTS atap yang harus dibayar PLN terlampau mahal. Menteri BUMN kebelet aset, mencari aset aset mana dari BUMN yang bisa dipreteli, lalu ketemu isue iklim dan memperoleh kesempatan mencomot aset geotermal PLN.

Langkah instan yang diambik kementerian di atas jelas membahayakan PLN. Pantas saja baru baru ini presiden menginstruksikan agar para menterinya berkonsultasi dan memberitahukan terlebih dahulu kepada presiden sebelum mengeluarkan peraturan menteri (permen). Rupaya memang ada kecendrungan permen disusupi kepentingan pragmatis para pedagang. Banyak yang ngiler dengan aset atau uang APBN dan BUMN, dan menggukan menteri sebagai alat untuk membuat kebijakan.

Seharusnya kebijakan transisi energi harus dijalankan secara menyeluruh, bukan sepotong potong. Tulang punggung kebijakan ini adalah PLN. Mulai dengan mengatasi over supply listrik PLN, meningkatkan bauran energi batubara, mengembangkan energi geotermal yang merupakan energi primer terbesar di Indonesia, dan mengembangkan PLTS termasuk PLTS atap dengan industri nasional dan cara cara inclusive yang tidak memberatkan keuangan PLN. Semuanya jangan terburu buru. Hitung yang benar. Karena ke depan energi itu adalah listrik. PLN adalah perpanjangan tangan negara untuk memenuhi hajat hidup orang banyak yakni listrik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *