Menakar Efektivitas Hukuman Mati Bagi Koruptor di Indonesia

Sumber Biro Hubungan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi

 

Media www.rajawalisiber.com  – Dampak korupsi pada negara secara sosial, politik dan ekonomi menyebabkan munculnya desakan sanksi pidana maksimal terhadap koruptor, termasuk hukuman mati. Di sisi lain, sanksi yang dijatuhkan harus berkorelasi dengan tujuan atau kepentingan hukum tindak pidana korupsi.

Hal itu dikemukakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, dalam Seminar Internasional BEM FH Universitas Muhammadiyah Surabaya pada Selasa (23/2). Nurul Ghufron memberikan paparannya mengenai topik seminar yaitu pidana hukuman mati bagi koruptor.

Lanjut Ghufron, penting untuk mengenal jenis tindak pidana mana saja yang bisa masuk untuk dijerat pidana mati. Dalam UU Tipikor No.31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 terdapat 30 jenis tindak pidana dengan 7 klasifikasi besar, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, gratifikasi serta tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi.

“Kalau kita mau masuk ke situ (pidana mati) sesungguhnya yang diancam dengan hukuman mati hanya pada pasal 2 ayat 2 yang dilakukan pada keadaan tertentu, maksudnya dalam keadaan bahaya, krisis moneter, bencana, dan lain-lain,” terangnya.

Ghufron kembali mengingatkan akan dampak korupsi pada negara secara kolektif kolegial yang atas dasar itulah ia sadar banyak pihak yang menganggap butuhnya sanksi pidana mati terhadap koruptor. Namun, katanya, sanksi itu harus berkorelasi dengan tujuan atau kepentingan hukum tindak pidana korupsi.

“Kepentingan hukum Tipikor sebenarnya apa sih? Tipikor itu dikriminalisasi karena sebagaimana saya sebutkan di atas, ada dampak sosial, politik, ekonomi dan lain-lain. Kalau kemudian di-cluster maka kepentingan hukum tipikor sesungguhnya melindungi 3 hal; melindungi hak keuangan publik, kedua melindungi hak sosial politik, serta ketiga melindungi hak keamanan dan keselamatan negara,” papar Ghufron.

KPK dan penegak hukum lainnya, baik polisi maupun kejaksaan, kata Ghufron, harus dapat memberikan sanksi yang merujuk pada apakah pemberian sanksi tersebut mencapai tiga tujuan tadi atau tidak.

Di KPK, kata Ghufron, ada tiga rencana strategis dalam memberantas korupsi, pertama menindak supaya takut, mencegah supaya tidak berbuat, lalu memberi pendidikan supaya menyadari untuk tidak melakukan kejahatan korupsi. Faktanya, ia melanjutkan, ancaman hukuman mati di Indonesia itu ada dalam pasal 2 ayat 2 UU No. 31/199 jo. UU No. 20/2001 yaitu perbuatan memperkaya diri yang melawan hukum, mengakibatkan kerugian negara, namun dalam keadaan tertentu.

“Itu normanya, lalu pelaksanaannya bagaimana? Hingga 2021 ini, pidana mati belum pernah dijatuhkan dalam perkara korupsi yang diadili menggunakan UU No. 31/199 jo. UU No. 21/2001. Sejauh ini, pidana terberat yang pernah dijatuhkan dalam perkara korupsi ialah pidana seumur hidup dalam perkara korupsi AM (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) dan 6 orang dalam korupsi Jiwasraya (HR, HP, JHT, SY, BT, HH),” tutup Ghufron.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *