Perlawanan Firli Bahuri Masih Membara

Dr Kurnia Zakaria S.H., M.H. Pakar kriminolog Universitas Indonesia / Dewan Penasehat PT Rajawali Siber Media 

Oleh Dr Kurnia Zakaria S.H., M.H.

 

Jakarta, Media www.rajawalisiber.com– Perlawanan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri sepertinya belum padam. Pasalnya, Firli awalnya melakukan perlawanan atas penetapannya sebagai tersangka atas kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Yakni melalui gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang mana akan diputuskan pada Selasa (19/12) mendatang.

Dalam replik di sidang praperadilan yang telah bergulir, Firli menyeret nama Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto, mantan anak buahnya sendiri saat di KPK.

“Iya sepertinya, perlawanan Firli Bahuri ini belum padam ya, selain gugat praperadilannya. Dia juga membawa dokumen penyidikan kasus dugaan supa di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang menyeret nama Muhammad Suryo,” ujar pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria saat diskusi dengan @Redaksi Rajawali Siber Media, Minggu (17/12) malam.

“Ini kan juga bisa diduga Firli mau melakukan perlawanan lagi, padahal dokumen itu tak ada kaitannya dengan gugatannya di kasus pemerasan SYL. Ini jadi pertanyaan, apa maksudnya,” tambahnya.

Diketahui, bahwa Firli menyebut penetapannya sebagai tersangka di Polda Metro Jaya berkaitan dengan kasus korupsi di DJKA yang saat ini ditangani KPK.

Firli lewat replik yang dibacakan kuasa hukumnya, Ian Iskandar pada persidangan Rabu (13/12) kemarin, membeberkan adanya ancaman dari Kapolda Metro Jaya kepada pimpinan KPK, jika Muhammad Suryo dijadikan tersangka.

“Lagi-lagi Kapolda Metro Jaya mendatangi Nawawi Pomolango dan menyampaikan kata-kata, ‘jangan mentersangkakan Suryo kalo Suryo ditersangkakan, maka Pak Ketua akan ditersangkakan.’ Hal ini disampaikan oleh Nawawi Pomolango ke Alexander Marwata,” ujar Ian.

Selain mengancam Nawawi Pamolango, Kapolda Metro Jaya juga melakukan ancaman kepada Nurul Ghufron agar jangan menetapkan Muhammad Suryo sebagai tersangka.

“Jika Muhammad Suryo ditetapkan sebagai tersangka maka semua pimpinan KPK RI akan ditetapkan sebagai tersangka semua,” kata Ian.

Pada jum’at (15/12), kasus DJKA ini kembali menguak di ruang sidang praperadilan. Bukan soal kosntruksi perkaranya yang dibahas. Namun soal dokumen kasus yang menyeret Muhammad Suryo itu diserahkan dalam sidang itu.

Tentunya ini dinilai tidak terkait dengan kasus dugaan pemerasan SYL itu. Sampai-sampai pihak Polda Metro Jaya sebagai tergugat kebingungan akan hal itu. Kabid Hukum Polda Metro Jaya Kombes Putu Putera Sadana yang hadir di meja hijau itu mempersoalkannya.

Padahal, kata Putu, ada beberapa dokumen dijadikan barang bukti dan pihaknya sudah punya 159 barang bukti yang tentunya nanti diuji di sidang pokok perkara, bukan praperadilan.

“Tapi, pemohon (Firli Bahuri) menyampaikan barang bukti yang menurut kami tidak ada korelasinya dengan yang sedang dibahas di sidang Praperadilan. Bukti P26 sampai P37,” tegas Putu.

Putu membacakan contoh, bahwa dalam P26 daftar hadir dan kesimpulan dan seterusnya tentang operasi tangkap tangan (OTT) DJKA.

“Ini barang bukti yang menurut kami tak linier dengan apa yang sedang kita bahas karena petitum yang bersangkutan salah satunya penetapan tersangka tidak sah,” bebernya.

Lantas Putu kemudian bertanya kepada ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi yang dihadirkan pihaknya.

“Apakah dokumen ini termasuk dokumen negara yang perlu dirahasiakan atau tidak karena dalam kepolisian dirahasiakan, belum lagi sampai P37, hampir semua tentang DJKA dijadikan barbuk di sini. Kami bertanya apa korelasinya dengan kasus yang sedang kita bahas ini?” tanya Putu.

Fachrizal menjawab, apabila dokumen penanganan kasus DJKA itu diperoleh dengan cara legal, hal itu tidak jadi masalah.

Alasannya, pertama, yang harus dilihat itu buktinya seperti apa. Apakah bukti itu bersifat umum misalkan nama yang bisa diakses secara luas di media atau database KPK yang bisa diakses secara publik.

Tapi, kalau misalkan alat bukti itu yang diungkapkan di persidangan itu orang biasa susah mendapatkan, itu maka harus dilihat apa relevansinya dengan perkara ini.

Lantas Fachrizal menyatakan bahwa informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana. Misalkan, kata dia, mengungkap identitas informasi, pelapor, saksi atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana, atau misalkan mengungkapkan data intelijen kriminal dan yang berhubungan dengan pencegahan dan penangan tindak pidana.

“Kita bisa lihat bahwa proses itu sifatnya rahasia, dikecualikan dari informasi yang bersifat publik,” cetusnya.

Maka itu, Fachrizal menjelaskan siapa pun yang mengakses, memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan, maka diancam pidana paling lama 2 tahun penjara.

Bahkan, dia juga menyebut ada ancaman denda paling banyak Rp 10 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 54 UU KIP. “Tapi, lagi-lagi kalau kita bicara perbuatan pidana, kita harus lihat mens rea (niat jahat) dan actus reus (unsur tindakan),” beber Fachrizal.

Membahayakan Penyidikan

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Junaedi Saibih yang juga dihadirkan sebagai ahli mengatakan tindakan pengacara Firli yang membawa bukti berupa dokumen kasus DJKA tidak tepat.

Hal itu karena tidak sesuai dengan materi yang dijadikan praperadilan. Harusnya, tegas dia, yang menjadi praperadilan ini adalah terkait tentang proses penetapan tersangka tersebut secara formil, misalnya bagaimana soal pemanggilan dilakukan.

“Adapun berkaitan dokumen rahasia seharusnya tidak boleh dibuka karena itu ada potensi nantinya akan terjadi hal membahayakan dalam proses penyidikan,” ungkapnya.

Misalnya informasi orang itu berkaitan pemeriksaan dan sebagainya, lalu dikhawatirkan akan jadi penghambat proses penyidikan. Misal orangnya melarikan diri,” imbuhnya.

Atas fakta persidangan ini, Firli Bahuri lagi-lagi diduga melakukan pelanggaran etik. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) berencana melaporkan Firli ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Laporannya soal dugaan kebocoran informasi terkait pembawaan dokumen rahasia penyidikan.

Firli diduga melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 21 UU KPK terkait penghalangan penyidikan, dan norma etika berdasarkan Peraturan Dewas KPK RI Nomor 2 Tahun 2020.

Menurut Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, Firli tampaknya berusaha membuktikan bahwa penetapannya sebagai tersangka merupakan kriminalisasi, tanpa bukti pemerasan yang cukup. Dokumen rahasia yang dibawanya dianggap sebagai langkah yang tidak etis dan melanggar aturan.

Boyamin menjelaskan bahwa tindakan Firli dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menempatkan rahasia publik dengan ancaman hukuman hingga 3 tahun, sementara penghalangan penyidikan di atas 5 tahun di bawah Pasal 21 UU KPK.

Menurut Boyamin, meskipun Firli telah nonaktif sementara di KPK, namun kehadiran dokumen tersebut di praperadilan dianggap tidak relevan dan dinilai sebagai upaya mempengaruhi opini hakim.

“Ini barang rahasia, apalagi ini tersangka kasus korupsi membawa-bawa dokumen, itu udah salah, nggak boleh karena rahasia. Pak Firli kan sudah nonaktif, kebutuhannya ya untuk perkara yang disidangkan. Ini kan praperadilan tidak ada relevansi,” kata Boy sapaannya saat dikonfimasi awak media, Minggu (17/12) malam.

KPK Harus Perjelas Status M Suryo

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyarakan KPK segera mengumumkan pengusaha asal Yogyakarta Muhammad Suryo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di DJKA Kemenhub.

ICW menilai, pengumuman tersangka ini penting guna menepis isu adanya intervensi dari Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto dalam penetapan Suryo sebagai tersangka.

“Sederhananya, pengumuman tersangka kepada publik ini juga dilakukan guna menepis adanya intervensi dan saling kunci kasus antara Kapolda Metro Jaya dan Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri,” kata Peneliti ICW Diky Anandya dalam keterangannya, Kamis (14/12).

Apalagi, kata Dicky, sejumlah fakta persidangan telah membuat terang adanya keterlibatan Suryo yang juga Komisaris PT Surya Karya Setiabudi (SKS) dalam kasus ini. Dalam dakwaan perkara korupsi ini, Suryo disebut menerima sleeping fee sebesar Rp9,5 miliar dari yang dijanjikan Rp11,2 miliar.

“Secara umum, jika memang dalam fakta persidangan disebutkan bahwa ada terduga pelaku lain yang terlibat dalam kasus korupsi Proyek Jalur Kereta Api di DJKA Kemenhub, maka ICW mendorong agar KPK segera mengungkapnya ke publik dalam kerangka pengembangan kasus tersebut,” bebernya.

Menurut Dicky, pengumuman status tersangka terhadap Suryo merupakan satu kewajiban KPK yang diatur dalam Pasal 5 UU KPK. “Bahwa kinerja KPK harus didasarkan pada asas kepastian hukum, keterbukaan dan akuntabilitas,” tukasnya.

Sementara itu, Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai pengumuman ini juga penting untuk membuktikan tak ada dualisme di komisi antirasuah. Kalaupun KPK komisionernya terdiri dari lima sifatnya kolektif kolegial.

“Harus jelas diumumkan kepada masyarakat, M Suryo ini sudah tersangka apa belum,” kata Abdul Fickar kepada Monitorindonesia.com belum lama ini.

Kalau memang ada bukti, tegas dia, harus ditetapkan, kalau belum harus dijelaskan kenapa belum ditetapkan sebagai tersangka. “Masih dalam proses penyelidikan atau apa. Jadi yang penting ada transparansi, keterbukaan pada publik,” katanya.

Tentang Penulis:

Dr Kurnia Zakaria S.H., M.H. Pakar kriminolog Universitas Indonesia / Dewan Penasehat PT Rajawali Siber Media

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *