“Dari Sejarah Leluhur Nusantara ini, kita sebagai anak cucu, wajib mengingat betapa hebatnya leluhur Nusantara, namun harus menyerah hanya karena kurang waspada terhadap kelicikan musuh dengan politik adu domba yang memecah belah dari tujuan awal sebuah harga diri Bangsa.”
Media www.rajawalisiber.com – Muslim Mochammad Khalifah atau dikenal Kyai Madja, Kyai Modjo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 1792) adalah seorang ulama yang dikenal sebagai orang kepercayaan Pangeran Diponegoro sekaligus panglima selama berlangsungnya Perang Jawa.

Kyai Madja lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah. Ayah Kyai Madja adalah ulama besar yang dikenal dengan nama Kyai Baderan.

Baik ayah dan ibunya adalah keturunan bangsawan, Abdul Ngarip keturunan keluarga Kraton Surakarta yang memilih mengabdikan diri berdakwah agama Islam. Ibunya, R.A. Mursilah, merupakan saudara perempuan Sultan Hamengkubuwana III. Sejak lahir, Kyai Mojo tidak pernah berada di dalam lingkungan kraton.
Secara garis silsilah keluarga, Kyai Modjo dan Pangeran Diponegoro memiliki ikatan kekerabatan. Diponegoro yang sempat bergelar Bendara Raden Mas Antawirya adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III dari istri selir.
Dengan demikian, Diponegoro adalah saudara sepupu Kyai Mojo. Sama seperti Kyai Madja, Diponegoro juga hidup di luar istana sejak kecil.
Hubungan kekeluargaan antara keduanya semakin erat setelah Kyai Madja menikahi janda Pangeran Mangkubumi yang tidak lain adalah paman Diponegoro. Pangeran Diponegoro pun memanggil Kyai Madja dengan sapaan “paman” meski keduanya adalah saudara sepupu.
Dasar pengetahuan agama Kyai Madja berasal dari ayahnya yang seorang ulama besar.
Setelah menunaikan ibadah haji, Kyai Madja sempat bermukim di Mekkah. Pulang dari tanah suci, ia melanjutkan peran sang ayah mengelola pesantren di desanya dan berhasil menghimpun cukup banyak pengikut.
Bersama para santrinya, Kyai Madja menggalang gerakan anti-pemurtadan yang marak di kalangan bangsawan kraton. Kiai Madja juga punya cita-cita suatu hari nanti tanah Jawa akan dikelola dengan pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Dan itulah yang dijanjikan oleh Pangeran Diponegoro sehingga Kyai Mojo beserta para pengikutnya bersedia bergabung untuk menghadapi Belanda dalam Perang Jawa.
Kyai Mojo bergabung sejak hari pertama pasukan Diponegoro tiba di Gua Selarong (terletak di Pajangan, Bantul, Yogyakarta) untuk menjalankan siasat perang gerilya melawan Belanda.
Ia juga menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan penting dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di Klaten. Dalam upaya diplomasinya, Kyai Madja dengan tegas mengajukan sejumlah tuntutan.
Ia juga berhasil mengubah paradigma perlawanan terhadap penjajah Belanda dari label “pemberontak” menjadi “perang sabil” atau Perang Suci melawan orang-orang kafir yang menjadi musuh Islam.
Sejak bergabung dengan Diponegoro, Kyai Madja berhasil merekrut banyak tokoh berpengaruh, termasuk 88 orang kyai desa, 11 orang syekh, 18 orang pejabat urusan agama (penghulu, khatib, juru kunci, dan lain-lain), 15 orang guru mengaji, juga puluhan orang ulama dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun, Ponorogo, dan seterusnya, serta beberapa orang santri perempuan.
Sang Pangeran telah mengetahui Kyai Madja bahkan sebelum Perang Jawa meletus, beliau telah membahas dengan pamannya, Pangeran Mangkubumi, saat mereka tiba di Selarong mengenai siapa ulama yang paling cocok untuk dipanggil ke Selarong guna memberi saran tentang cara mengangkat Al-Quran sebagai landasan untuk perang sabil melawan kafir Belanda.
Mangkubumi menyarankan agar memilih seorang di antara para ulama di Yogyakarta, tetapi sang Pangeran menolak, sebab dia kurang percaya kepada kapasitas mereka untuk memberi petunjuk berbasis Al-Quran.
Alih-alih memanggil ulama dari Yogyakarta, Diponegoro memilih memanggil dua ulama yang dia kenal sebagai orang yang betul-betul “ajrih kepada tuhan” dan sangat hati-hati untuk bertindak atas perintah Al-Quran,
yaitu Kiai Kuweron dari Pesantren Kuweron di Kedu Selatan, yang sudah lanjut usia, dan Kiai Modjo dari Pesantren Mojo dekat Delanggu, yang jauh lebih muda (sekitar 33 tahun saat Perang Jawa meletus).
Setelah berjuang bersama selama sekitar tiga tahun, dalam perjalanan kedua belah pihak tersusupi politik adu domba yang dalam pemikiran Kiai Madja mulai tidak sepaham ketika saat Pangeran Diponegoro mulai menggunakan cara-cara yang dianggapnya menyimpang dari Islam untuk menarik simpati rakyat demi menambah kekuatannya.
Diponegoro memakai sentimen budaya Jawa melalui konsep Ratu Adil atau juru selamat dalam kampanye merekrut pasukan.
Salah satu gejalanya adalah ketika Diponegoro mengaku memperoleh tugas suci dari Tuhan yang didapatnya saat bersemedi.
Diponegoro juga mengklaim telah diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah di tanah Jawa.
Pangeran Diponegoro, secara tersirat, menyamakan pengalaman spiritual yang diklaimnya dengan pengalaman Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi Rasul.
Diponegoro juga mengeksplorasi peristiwa-peristiwa khusus Rasullah terkait statusnya itu, seperti menyendiri di gua atau menerima wahyu dari malaikat Jibril.
Hasilnya, Pangeran Diponegoro dilayani pengikutnya seperti seorang raja. Meskipun sering memakai jubah putih, namun ia juga punya koleksi pribadi berupa barang-barang mewah seperti pusaka, keris, kuda, dan lain-lain.
Diponegoro juga sering menonjolkan gaya dan atribut kerajaan, termasuk dipayungi para pengawalnya dengan payung berlapis emas dalam setiap kemunculannya.
Kiai Madja tidak sepaham dengan ekpresi yang dimunculkan sepupunya itu.
Ia menilai Diponegoro telah mengingkari janjinya untuk membentuk pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam dan justru berambisi ingin mendirikan kerajaan tandingan di tanah Jawa. (tanda petik kedua belah pihak tersusupi pihak luar dengan adanya politik adu domba)
Hingga akhirnya, Pangeran Diponegoro menyarankan agar Kiai Madja berhenti berperang. Kiai Madja akhirnya berinisiatif menemui Belanda untuk mengadakan perundingan demi berakhirnya perang.
Dalam pertemuan pada 25 Oktober 1828 itu, Belanda bertanya kepada Kyai Madja tentang bagaimana jika Diponegoro diberi wilayah kekuasaan, dengan kata lain,
Diponegoro akan mendapatkan jatah sebagai raja baru di Jawa. Kyai Madja lalu berkata jika itu yang terjadi, maka akan disambut dengan senang hati oleh Diponegoro dan perang pun akan usai.
Pernyataan tersebut menyiratkan persepsi bahwa Kyai Madja memang menilai Diponegoro sedang mengincar gelar raja Jawa dan ingin memimpin kerajaan baru meskipun tidak dengan sistem pemerintahan Islam.
Di sisi lain Pangeran Diponegoro juga jengkel dengan sikap Kiai Mojo yang takabur bahwa pangeran-pangeran Surakarta terdahulu belajar dibawah asuhan ayahnya dan dilanjutkan sekarang anak-anak mereka yang diasuh olehnya, dalam babad karyanya Pangeran Diponegoro merasa dikecilkan martabatnya karena Kyai Modjo mengatakan bahwa dikarenakan pengaruh dialah mereka mendapatkan dukungan dari keraton sunan tatkala perang makin lanjut.
Dikarenakan kejengkelan ini, beberapa minggu penting lewat begitu saja, sehingga pada 15 Oktober 1826 tentara sang Pangeran yang berkekuatan 5000 prajurit mulai menyerang Surakarta, dia menderita kekalahan besar di Gawok tepat di sebelah barat kota itu.
Saling menyalahkan yang sengit penyebab kekalahan tersebut. Secara khusu’, Kiai Modjo dan keluarganya dituduh telah dengan nekat mendesak untuk menyerang ibu kota kesunanan demi kepentingan mereka sendiri.
Apa yang sebelumnya hanya merupakan persaingan yang mengganggu, sekarang menjadi perselisihan terbuka.
Kyai Mojo berangkat lagi yang kedua kalinya ke Melangi pada 5-9 November 1928 dengan tujuan melakukan perundingan sendiri dan sepihak tanpa sepengetahuan Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda yang pada negosiasi pertamanya pada 31 Okotober 1828 juga terjadi di Melangi, di sebuah pathok nagari (pusat untuk ulama ahli hukum fikih).
Namun, perundingan tidak terjadi. Nyatanya, Pasukan Gerak Cepat Ketiga yang dikomandoi Letnan-Kolonel Joseph Le Bron de Vexela sudah ditugaskan untuk memastikan Kiai Modjo dan pasukannya tidak bisa lolos.
Karenanya, ketika perundingan gagal pada 10 November dan diketahui bahwa bahwa sang Kiai sedang berusaha balik menuju ke Pajang melalui jalan pintas di lereng-lereng Gunung Merapi, dia dicegat di dekat bekas perkebunan Bawon Bouwens van der Boyen di Babadan pada 12 November.
Dia diberi waktu 2 menit untuk memutuskan apakan menyerah tanpa syarat atau langsung bertempur dalam keadaan sulit (Le Bron sudah mengepung pasukan Modjo), Kyai Modjo memilih menyerah dengan 400 pasukannya.
Belanda sangat tegas kepada Kyai Modjo daripada kepada tokoh-tokoh Keraton yang membelot ke pihak Belanda, dikarenakan Belanda menggangap Kyai Modjo sangat berbahaya dan paling bertanggung jawab karena mengobarkan kefanatismean dalam perangnya.
Pada tanggal 12 November 1828, Kyai Modjo dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, Sleman, dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke Salatiga.
Dalam penahanannya, Kyai Madja meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya.
Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kyai Madja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan.
Belanda sangat tegas kepada Kyai Modjo daripada kepada tokoh-tokoh Keraton yang menyerah dikarenakan Belanda menggangap Kyai Modjo yang sangat berbahaya karena mengobarkan kefanatismean dalam perangnya.
Baru pada tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke Batavia dan diputuskan akan diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.
Di tanah pembuangan, Kyai Modjo terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun.
Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah terpisahnya kubu Kyai Modjo dari pasukan Diponegoro.
Disadur dari berbagai sumber Berita. Redaksi