Serat Sapdo Palon Nagih Janji, Tondoe Merapi Jangji Mami

Sumber: Serat Jongko Sabdo Palon

 

Media www.rajawalisiber.com – Sebagian besar masyarakat Jawa meyakini, bahwa akan tiba masa yang, dalam istilah Prabu Jayabaya disebut sebagai Zaman Jayabaya, yaitu zaman di mana bebaya atau kekacauan tengah merajalela.

 

 

 

 

 

 

Sedangkan menurut Serat Sabda Palon naskah Jawa kuna yang jadi sumber utama tulisan ini dikenal dengan istilah, “Sabda Palon nagih janji”.

Akan tiba masanya ketika Sabda Palon atau Mbah Semar yang telah moksa di Jawa bagian selatan itu datang kembali.

Tujuannya adalah untuk memomong kembali masyarakat Jawa yang sudah kekeringan spiritualitas dan mengalami dekadensi moralitas. 

Wong Jawa wus ilang Jawane, begitu kira-kira ungkapan yang populer untuk menyebut keadaan tersebut.
Serat Sabda Palon pupuh 4, Sabda Palon bersumpah bakal muncul kembali sebagai pamomong tanah Jawa dalam kurun 500 tahun pasca runtuhnya Majapahit.

Jika dihitung dalam satuan Masehi, Majapahit itu runtuh pada 1478. Maka, bisa diperkirakan, 500 tahun pasca runtuhnya Majapahit itu kurang lebih jatuh pada kisaran tahun tahun sekarang.

terlapas dari latar belakang apa pun yang mengaku memenuhi janji 500 tahun keruntuhan Majapahit.

Perkiraan ini juga disokong oleh beberapa tanda alam dan sosial yang terdapat dalam Serat Sabda Palon. 

Di antara tanda-tanda alam yaitu:

Satu, meletusnya gunung Merapi seperti yang terkandung dalam pupuh 5: 
“Kula damel pratandha / Pratandha tembayan mami / Hardi Mrapi yen wus jeblug mili lahar .”

(Saya akan membuat pertanda/Sebagai janji teguh saya/Apabila gunung Merapi sudah meletus mengeluarkan lahar)

Sabda Palon bersumpah bakal muncul kembali sebagai pamomong tanah Jawa dalam kurun 500 tahun pasca runtuhnya Majapahit. Jika dihitung dalam satuan Masehi, Majapahit itu runtuh pada 1478. Maka, bisa diperkirakan, 500 tahun pasca runtuhnya Majapahit itu kurang lebih jatuh pada kisaran tahun 2020-an.

Sabdo Palon telah bertekad untuk mengembalikan zaman keemasan dan kejayaan Majapahit di Nusantara demi ketentraman jagad raya.

Serat Darmo Gandul juga menceritakan kedatangan Sabdo Palon menandai masa kehancuran pulau Jawa. Masa ini disebut juga dengan “Sabdo Palon nagih janji.”

“Sanget-sangeting sangsara, Kang tumuwuh tanah Jawi, Sinengkalan taunira, Lawang Sapta Ngesthi Aji, Upami nabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandang, Jerone nyilepake jalmi, Kathah sirna manungsa kathah pralaya.”

Artinya, Sangat-sangatnya sengsara yang timbul di Tanah Jawa, ditandai pada tahun Sembilan Tujuh Delapan Satu (9781).

Seumpama menyeberang sungai, sampai di tengah-tengahnya, sungainya banjir bandang. Dalamnya menenggelamkan manusia. Banyak manusia mati, banyak bencana. Gunung meletus, Gempa Bumi, Wabah penyakit (Pagebluk).

Janji kedatangan Sabdo Polan diucapkan di Blambangan, ketika Majapahit hancur diserang oleh pasukan Demak Bintara. Prabhu Brawijaya meloloskan diri ke arah Timur, hendak menyeberang ke Pulau Bali, namun masih bertahan sementara di Blambangan (Banyuwangi).

Dalam Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon, atau yang banyak dikenal dengan Jangka Sabdo Palon, janji itu dicetuskan.

Nukilan syair dalam Serat Jangka Sabdo Palon yang diduga ramalan kehancuran Islam di Jawa adalah, yakni:

Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, kepetung jaman Islame, musna bali marang ingsun, gami Budi madeg sawiji…

Yang di maksud Takdir nusa sampai kepada janji, jka sudah genap lima ratus tahun, terhitung jaman Islam, musnah kembali kepadaku, Agama Budi berdiri menjadi satu…

Bait ini terletak di penghujung akhir Serat Jangka Sabdo Palon. Tuturan ini kemudian dikenal sebagai “Sabdo Palon Nagih Janji”.

Zaman kalasuba adalah zaman keemasan nusantara yang di tunggu–tunggu oleh banyak orang.

Sedangkan sekarang kita berada di zaman kalabendu. Pada masa peralihan ini, kedatangan Sabdo Palon akan tiba.

Tanda–tanda alam tercatat di ramalan Sabdo Palon dan Jangka Joyoboyo.

Sabdo Palon matur sugal, ”Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jume­neng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan.

Sabdo Palon menjawab kasar: ”Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa.

Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.”

Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Budhi kula sebar tanah Jawa.

Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budhi lagi (Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.

Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.

Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya.

Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini.

Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.

Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan.

Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang.

Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.

Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya.

Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.

Warna-warna kang bebaya, Angrusaken Tanah Jawa, Sagung tiyang nambut karya, Pamedal boten nyekapi,Priyayi keh beranti, Sudagar tuna sadarum, Wong glidhik ora mingsra,Wong tani ora nyukupi, Pametune akeh serna aneng wana.

Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi.

Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.

Bumi ilang berkatira, Ama kathah ingkang ilang, Cinolong dening sujanmi, Pan sisaknya nglangkungi, Karana rebut rinebut, Risak tetaning janma, Yen dalu grimis keh maling, Yen rina-wa kathah tetiyang ambegal.

Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang mnyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri.

Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan.

Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tetapi bila siang hari banyak begal.

Heru hara sakeh janma, Rebutan ngupaya bukti, Tan ngetang angering praja, Tan tahan perihing ati, Katungka praptaneki, Pageblug ingkang linangkung, Lelara ngambra-ambra. Waradin saktanah Jawi, Enjing sakit sorenya sampun pralaya.

Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan.

Mereka tidak mengingat aturan Negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut.

Hal tersebut masih berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa.

Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia. Dan Sore Sakit paginya mati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *